💗 SHALIHKAN DIRI DEMI BUAH HATI 💗
Oleh: Asnati
“Aku bingung banget, Yuk Atik. Kenapa ya anak-anak gak mau nurut sama sekali ke aku?” Curhat seorang adik pada suatu ketika. “Setiap aku menasihati sesuatu, anak-anak tidak pernah mau melakukan. Aku gak pingin marah-marah terus tiap hari ke anak. Tapi gimana lagi, mereka susah dibilangin.”
Aku mengangguk kecil mendengar keluh kesahnya. Sungguh, aku pun pernah berada di posisinya, pusing ketika anak susah sekali menurut apa kata orang tua. Dan sampai sekarang pun aku terus belajar untuk menjadi orang tua yang ucapannya berpengaruh pada anak.
Hingga suatu hari, sekolah tempatku mengajar mengadakan acara parenting via Zoom. Pembicaranya Ustadz Ahmad Arqom, founder lembaga pelatihan kepribadian Trustco.
“Setidaknya ada 3 kaidah dalam bahasa Arab, yang bila kita memahami serta melaksanakan kaidah ini, insyaAllah ucapan kita akan punya ‘power’ terhadap anak.” Aku menyimak baik-baik pesan Ustadz Ahmad Arqom.
Apa saja kaidah itu?
Pertama, Annaasu atba’a man gholaba, manusia itu cenderung akan mengikuti siapa yang lebih kuat, lebih sholih, lebih pintar, dan lebih banyak jasa terhadapnya.
Orang tua yang ingin diikuti ucapan dan sikapnya oleh anak, tentu wajib menunjukkan kelebihannya pada anak. Bila anak sholat wajib 5 kali sehari, maka orang tua harus tambah dengan sholat sunnah. Bila anak baca Quran satu lembar, orang tua harus baca Quran minimal 5 lembar. Bila anak bisa matematika dasar, orang tua harus berusaha jauh lebih memahami matematika ketimbang anak. Maka, ketika anak melihat orang tua ternyata punya ‘segala sesuatu yang lebih’ dibanding dirinya, baik itu dalam bentuk ibadah atau ilmu pengetahuan, mau tidak mau anak akan menjadi segan, respek, dan ucapan kita akan berbekas di hatinya.
Jadi, sudah bukan masanya lagi kita sebagai orang tua hanya bermodal ‘lebih duluan lahir’ lalu gampang menyuruh anak untuk ini dan itu. Pingin anak rajin sholat tepat waktu, orang tua harus rajinkan diri sholat tepat waktu terlebih dahulu. Jangan bisanya bilang, “Nak, ayo sholat. Sudah adzan.” Tapi setelah itu sang orang tua malah asyik nonton sinetron “Kumenangiiiis … Membayangkan…”.
Kaidah kedua, Ashlih nafsaka yasluh lakannaas. Perbaiki dirimu, maka orang lain akan berbuat baik padamu.
Dalam konteks pendidikan anak, jika kaidah ini dibalik, mengapa anak tidak mau berbuat baik pada orang tua? Ya, bisa jadi karena sang anak tidak mellihat kita sebagai orang tua yang mau memperbaiki diri.
Pertanyaannya sekarang, apakah sudah maksimal kita memperbaiki diri? Jika belum, mungkin itulah yang menyebabkan anak tidak mau nurut pada kita.
Ada sebuah kisah dari seorang sahabat. Sahabat ini aku lihat begitu disegani oleh anaknya. Ketika aku tanya apa rahasianya? Sambil tersenyum ia jawab,
“Gak ada rahasia khusus, sih. Tapi dari sejak anakku lahir, aku punya kebiasaan tidak pernah sekalipun ngentut / buang angin atau mengupil di depan anak.”
Sederhana banget. Tapi dampaknya begitu luar biasa. Betapa hal-hal kecil yang sering kita abaikan, ternyata bisa berpengaruh pada hormat tidaknya anak ke orang tua.
Sekarang, kita tanyakan pada diri sendiri, betapa sering kita “Brat brot bret brut” di depan anak tanpa sungkan, atau garuk-garuk ketiak tanpa mempedulikan anak melihat tingkah bapak emaknya. Kita bahkan menganggap hal itu sebagai lelucon, tapi hasilnya anak akan memandang diri kita rendah. Naudzubillah.
MasyaAllah, sebelum mendengar kajian ini, aku termasuk orang tua yang “brat brot bret brut” di depan anak. Tapi setelah mengaji, aku berhenti melakukan hal itu. Sekarang lebih sering “brat brot bret brut” di depan istri. Wkwkwk.
Ayo bareng-bareng memperbaiki diri. Karena setiap perbaikan bukan hanya membuat diri kita menjadi nyaman, tapi bisa membuat orang lain senang.
Kaidah ketiga yaitu, Kimmatul mar’i biqodri ma yuhsinuhu, nilai seseorang itu sangat ditentukan oleh seberapa banyak kebaikan yang bisa ia kerjakan.
Artinya, keterlibatan kita di dalam membersamai anak saat ia punya masalah, akan berpengaruh besar pada sikap hormat anak pada orang tua. Dengan selalu membersamai anak, terutama ketika ia tertekan oleh suatu hal, maka anak akan merasakan bahwa dia tidak sendiri, dia punya tempat curhat, dia punya sahabat, dan dia punya cinta pertama di dunia ini: ayah ibunya. Dan bila anak sudah merasakan hal ini, insyaAllah ia tidak akan berbuat sesuatu yang bakal mengecewakan orang tuanya.
Izinkan aku mengulang kisah Nabi Yusuf dan ayahnya, Nabi Ya’kub. Dan semoga dari kisah ini kita akan melihat betapa keshalihan orang tua, terutama seorang ayah, mampu mengeluarkan anak dari jerat kemaksiatan.
Kisah ini kita bisa baca secara lengkap di Surat Yusuf. Di sini aku mau paparkan poin pentingnya saja.
Saat itu, Nabi Yusuf dijebak di dalam sebuah kamar oleh istrinya raja. Istri raja itu sungguh cantik jelita, badan seksi tinggi semampai, rambut lurus tergerai, semua orang tergila-gila padanya. Bahkan orang sesholih Yusuf pun tak kuasa menahan tarikan nafsu syahwat ketika digoda untuk berzina oleh sang ratu.
“Marilah mendekat padaku,” desah perempuan cantik itu.
Berdua di dalam kamar yang sunyi itu, membuat Nabi Yusuf sudah kehilangan akal sehat, otaknya telah tersumbat nafsu. Di dalam Surat Yusuf ayat ke 24 digambarkan detailnya,
“Dan sungguh, perempuan itu sudah ingin sekali berzina dengan Yusuf, dan Yusuf pun juga punya keinginan yang sama padanya.”
Lalu apa yang membuat Yusuf akhirnya selamat dari rayuan maut wanita itu? Jawabannya ada di keterangan selanjutnya.
“(Yusuf akan melakukan zina itu) Seandainya dia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Demikian, Kami palingkan keburukan dan kekejian darinya. Sungguh, Yusuf termasuk hamba Kami yang terpilih.”
Yang jadi pertanyaan pentingnya adalah, tanda apa yang diberikan Allah pada Yusuf hingga beliau bisa selamat dari lilitan tali nafsu yang begitu kuat itu? Para ahli tafsir Quran menjelaskan bahwa Sang Ayah-lah tanda yang dimaksud.
Jadi, ketika Nabi Yusuf tinggal selangkah lagi melakukan zina dengan istri tuannya. Tiba-tiba beliau melihat Nabi Ya’kub di samping pintu dan berteriak, “Yusuf!”
Setelah seperti mendengar ayahnya berteriak, Nabi Yusuf juga melihat ayahnya menggigit jarinya sendiri. Dalam adat di daerah tinggal Nabi Ya’kub, menggigit jari tangan adalah simbol kekecewaan dan kemarahan.
Maka kembalilah kesadaran Nabi Yusuf, hingga beliau segera lari keluar kamar meski sempat ditarik bajunya dari belakang oleh sang ratu yang hatinya masih dipenuhi nafsu.
Lihat! Betapa keshalihan seorang ayah dapat menyelamatkan anaknya dari perbuatan keji. Padahal kita tahu, Nabi Yusuf berpisah dengan ayahnya ketika ia masih kecil karena dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, ditemukan oleh pedagang budak, lalu dijual ke Mesir. Selama bertahun-tahun Nabi Yusuf putus kontak dengan Nabi Ya’kub. Zaman itu belum ada WA, belum bisa video call-an.
Lalu mengapa Nabi Ya’kub masih berkesan dan punya pengaruh kuat di hati Yusuf? Keshalihan! Ya, karena keshalihan sang ayah lah yang menyelamatkan sang anak. Dalam masa perpisahan mereka, Nabi Ya’kub tak henti berdoa khusus untuk keselamatan Yusuf.
Sekarang, seberapa shalih kita beribadah? Seberapa sering kita mendoakan anak?
Semoga dengan keshalihan dan doa-doa yang selalu melangit untuk sang anak, membuat buah hati kita menjadi anak yang dapat menyejukkan mata dan hati bagi orang tuanya.
Aamiin.
****
Curup, 9 Januari 2021
Asnati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar