Pengikut

Kamis, 28 Januari 2021

Kamis 28.1.2021

 



Cerdaslah Wahai Ibu, Berkarakterlah Para Ayah!
 
Kawan, pernahkah kalian membaca atau mendengar sebuah pepatah yang berisi:
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?” 

Sebuah pepatah yang cukup familiar tersebut, menggambarkan bahwa anak-anak tak lain adalah refleksi dari para orang tua mereka.

Ada yang juga menggambarkan dengan istilah orang tua adalah sebuah benda, sedangkan anak-anak adalah bayangan benda itu. Jika benda itu lurus, maka bayangannya juga akan lurus. Namun apabila bengkok, maka bengkok pula bayangan benda itu.
 
Apakah memang benar demikian?
 
Jika dibahas dari berbagai aspek, maka penjelasan tersebut nantinya akan terlalu panjang. Menyesuaikan dengan judul, maka aspek yang akan dibahas adalah mengenai potensi kecerdasan dan karakter anak. Yang mana kedua aspek itu, ditambah dengan aspek agama atau religius, adalah pondasi utama manusia dalam meraih kesuksesan.

***
 
Apakah ibu yang cerdas berpotensi melahirkan anak-anak yang cerdas pula?

Pertanyaan ini familiar diajukan, serta sering dijadikan bahan diskusi. Saya pernah membaca sebuah pesan yang konon berasal dari artis papan atas Indonesia, Dian Sastrowardoyo. 

Pesan tersebut berbunyi:
“Entah berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang perempuan harus berpendidikan tinggi, karena ia akan menjadi seorang ibu.” 

Terlepas benar atau tidak kalimat itu dari Mbak Dian, isinya memang cukup menarik untuk dibahas, bukan?
 
Menurut beberapa penelitian, salah satunya yang diterbitkan dari hasil studi Medical Research Council Sosial and Public Health Science terhadap 12.686 orang berusia 14 hingga 22 tahun. Pertanyaan yang diajukan berfokus pada IQ, ras, pendidikan, dan status sosial ekonomi. Dari pertanyaan-pertanyaan itu, disimpulkan bahwa prediktor terbaik kecerdasan adalah dari IQ ibu mereka.

Fakta yang kemudian dikuatkan oleh penelitian dari University of Washington, yang dalam hal ini menjelaskan bahwasanya perempuan menurunkan gen kecerdasan lebih banyak karena memiliki dua kromosom X. Sedangkan laki-laki dalam hal ini ayah, hanya memiliki satu kromosom X. Perlu diketahui, kromosom X adalah penentu fungsi kognitif pada anak.
 
Apakah perempuan harus berpendidikan tinggi agar cerdas dan pintar?

Pertanyaan tersebut jika diajukan bisa jadi akan menimbulkan polemik. Bisa jadi karena berbagai macam faktor dan keadaan, perempuan ada yang beruntung bisa mengenyam pendidikan hingga tinggi. Namun ada pula yang tidak beruntung menikmati indahnya bangku pendidikan.

Tidak ada yang bisa disalahkan. Dalam kehidupan di dunia, setiap individu sudah memiliki takaran, rezeki, dan kesempatannya masing-masing.

Tapi kita setidaknya bisa merubah keadaan dari diri sendiri terlebih dahulu, bukan?
 
Sudah banyak cerita, orang-orang hebat dan cerdas lahir dari rahim perempuan-perempuan yang bahkan tidak mengenyam bangku pendidikan sama sekali. Namun saya bisa memastikan, perempuan-perempuan itu adalah orang-orang yang memiliki sifat mau belajar, menyukai ilmu pengetahuan, serta pribadi-pribadi ikhlas nan hebat. Dari hal-hal itulah, yang menjadikan warisan luar biasa untuk anak-anak mereka.

Tuhan memberikan semua hal di dunia untuk dipelajari, yang mana di setiap sendi-sendi kehidupan adalah ladang ilmu yang sungguh luas. Jadi, bangku sekolah hanyalah salah satu dari banyak hal atau cara untuk mereguk manisnya ilmu.

Namun, tidak otomatis pula perempuan yang berpendidikan, akan melahirkan generasi yang hebat pula. Semua ada proses panjang dan berkelanjutan. 

Pendidikan anak diawali dari rumah. Bukankah sosok ibu adalah guru pertama bagi putra-putrinya? Bisa dibayangkan generasi penerus bangsa, apabila sosok ibu mereka adalah orang cerdas, berilmu, memiliki wawasan luas, dan segala hal baik lainnya?

***
 
Apakah ayah yang berkarakter kuat berpotensi menurunkan sifat yang mirip kepada anak-anak mereka?

Sejauh ini, saya belum menemukan penelitian ilmiah yang membuktikan hal itu. Namun dari beberapa ilmu parenting dan hasil diskusi dari pengalaman para orang tua, membuktikan sebagian besar karakter dan sifat anak menurun dari para ayah mereka. 
 
Mungkin bisa dipahami demikian, karena ayah adalah seorang kepala rumah tangga, seorang pemimpin. Seorang pemimpin pasti memiliki gaya tersendiri dalam merefleksikan apa yang menjadi karakter mereka. Posisi ayah sebagai pemimpin, maka karakter itu bisa mempengaruhi lingkungan terdekat mereka, dalam hal ini istri dan anak-anak mereka.

Kita semua pasti paham, bahwa karakter seorang anak manusia, sebagian besar dibentuk oleh lingkungan mereka dibesarkan. Jadi memang cukup relevan bukan, jika karakter seorang ayah berpengaruh pada pertumbuhan karakter anak-anaknya?
 
Karakter apa yang seharusnya dimiliki oleh seorang ayah? 

Saya sendiri adalah seorang ayah, yang tentu masih harus banyak belajar. Di benak saya sederhana saja, mengenai harus bagaimana menjadi seorang ayah yang baik. Saya harus bisa dijadikan tauladan, seorang contoh bagi istri dan anak.

Memberikan contoh itu tantangannya jauh lebih sulit daripada sekedar berbicara memberikan nasihat. Menjadi contoh bagaimana itu tentang tanggung jawab, mengayomi, dan banyak hal lainnya. 

Menjadikan semua hal itu, mewajibkan seorang ayah harus terus menerus belajar sampai waktu tak terbatas.

Jika ibu adalah seorang guru bagi putra-putrinya, maka ayah adalah sosok kepala sekolah. Bagaimana guru mampu menjadikan murid berprestasi, itu juga tergantung terhadap sosok kepala sekolah yang bertanggung jawab dan mengayomi.

Semua memang harus seimbang, saling melengkapi dan mendukung.

***
 
Seorang anak adalah investasi dunia dan juga akhirat. Anak-anak, yang kelak ketika menjadi tanggung jawab kami ketika berhadapan dengan Yang Maha Kuasa.

Apakah kita mampu mendidik mereka dengan benar? Apakah kita menjaga mereka dengan baik? Apakah kita akan memberikan yang terbaik kepada titipan-Nya yang paling berharga itu?

***

Faktor utama saya mengizinkan istri menempuh pendidikan setinggi mungkin, kemudian mendukungnya secara penuh, adalah karena bagi kami seorang anak adalah aset terbaik yang tak ternilai harganya.

Istri saya harus menjadi perempuan yang cerdas, untuk itu dia menuntut dirinya sendiri untuk belajar sebaik dan selama mungkin. Dia memaksa dirinya untuk melakukan pembelajaran secara berkelanjutan, agar dia mampu menjadi guru terbaik bagi anak kami.

Kemudian, saya harus menjadi orang berkarakter. Untuk itu, meninggalkan semua hal yang membuat saya nyaman adalah pilihannya. Mulai dari lingkungan, teman, dan pekerjaan. 

Saya menyadari, untuk menjadikan diri seorang yang berkarakter, saya tidak bisa berlama-lama berkutat dengan zona nyaman yang membuat mudah terlena. 

Kami berdua harus bisa dijadikan contoh terbaik bagi anak-anak kami kelak. Agar mereka tak perlu kesususahan, tak perlu jauh, dan tak perlu kesulitan mencari figur tauladan serta inspirasi.

Mereka akan menemukannya dengan mudah serta dekat. Itu adalah kami, kedua orang tuanya.
28 Januari 2021.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kenangan di Yogyakarta

  Jogya 14 Juli 2022 Salam literas @asnati