Pengikut

Sabtu, 28 Maret 2020

CERITA BERSAMBUNG BU SRI SUGIASTUTI


LONTAR

Sri Sugiastuti

Ingat pohon Lontar jadi ingat sejarah menulis di daun lontar. Tidak semua orang tahu bagaimana bentuk pohon lontar. Bu Kanjeng kalau tidak berkunjung ke Kupang pasti tak ingat lagi dengan daun lontar yang punya sejarah besar dalam dunia literasi.

Saat berkunjung ke pantai Lasiana Bu Kanjeng sempat makan buah lontar. Ia yang baru pertama kali makan buah itu menikmati dengan tiap kunyahan hingga tuntas. Campuran rasa segar kenyal seperti jeli alami yang memang fresh diambil dari dalam buah lontar yang berwarna ungu di dalam buah itu lah 3 biji yang pipih lebih besar dari kolang kaling.

Sensasi makan buah Lontar membuat Bu Kanjeng penasaran tentang pohon lontar dan manfaatnya. Niat banget ia googling dan berusaha berdiskusi dengan Pak Kanjeng tentang pohon lontar. Orang boleh lupa dengan pohon lontar, tetapi untuk masyarakat di NTT pohon lontar punya andil cukup besar dalam mensejahterakan kehidupan mereka. Bahkan pohon lontar punya nama lain yaitu pohon Hayat atau pohon kehidupan.

Pohon Lontar punya nama latin Borassus flabellifer Linn. Pohon sejenis palem (Arecaceae) ini  tumbuh liar dengan ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Konon pohon Lontar,  berasal dari India dan Srilanka,  menyebar ke Arab Saudi hingga negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, sampai Indonesia.

Indonesia yang subur menjadikan lontar  mampu tumbuh setinggi 10 – 30 meter. Pohon ini bisa  dijumpai di seluruh pesisir pulau dari ujung barat hingga timur. Lontar pun punya banyak nama. Di Sulawesi Selatan pohon lontar dijadikan lambang provinsi. Sedangkan yang paling banyak tumbuh ya di NTT.

Mengenal lebih jauh tentang pohon lontar dan kegunaannya membuat Bu Kanjeng menyadari betapa beruntung dan bersyukurnya ia hidup di belahan bumi Indonesia yang kaya raya.

Bu Kanjeng yang orang Jawa mengenalnya sebagai pohon siwalan atau rontal. Masyarakat Bali menyebut hal sama (rontal). Masyarakat Pulau Sabu NTT menyebut pohon ini  kepuwe duwe, dan orang Pulau Rote menamakan pohon ini tua. Sedangkan di Papua menyebutnya dengan uga.

Dari hasil penelitian dinyatakan ada 800 manfaat pohon lontar, mulai dari manfaat fisik sampai kimia karena nyaris semua bagian pohon ini bisa digunakan. Sebagai contoh, ada gula dalam 100 cc air nira adalah 10,93 gram. Gula reduksi 0,96 gr, ada juga sedikit protein, nitrogen, mineral, kalsium, fosfor dan zat besi. Dengan pH berkisar 6,7 - 6-9, air nira punya vitamin C cukup tinggi yaitu 13,25 g/100 cc dan vitamin B1 sebesar 3,9 IU.

Bu Kanjeng semakin cinta Indonesia. Apalagi saat diketahui betapa daun lontar yang lebarnya satu sampai tiga meter itu banyak sekali manfaatnya. Daun yang berbentuk seperti kipas dengan diameter 1 meter lebih, punya sejarah tersendiri  khususnya di bidang literasi dan sastra bangsa Indonesia.

Bu Kanjeng jadi ingat saat guru sejarahnya menerangkan bahwa peradaban manusia Di zaman dulu terdokumentasikan melalui daun lontar. Hal ini tak bisa disangkal karena manusia zaman dahulu menuliskan atau menggambarkan sesuatu di daun lontar. Bahkan ada beberapa literatur di zaman kolonial Belanda menyebutkan bahwa lontar masih dipakai dalam surat menyurat resmi para penghulu Suku Sasak sampai akhir abad 19.

Sambil menikmati buah lontar muda yang rasanya kenyal segar dan memiliki kandungan energi pastinya, Bu Kanjeng semakin penasaran dengan pohon lontar. Pak Zaenal dan Bu Syaidah yang asli pulau Rote pun berkata bahwa di NTT, batang lontar dijadikan bahan pembangun rumah. Batangnya bisa sebagai tiang. Juga bisa menjadi perabotan rumah seperti meja dan kursi serta dibuat perahu. Pelepahnya yang besar dan kuat bisa untuk pagar dan tembok rumah. Daunnya yang lebar bisa dimanfaatkan sebagai wadah penampung air yang disebut haik (semacam ember), sebagai atap rumah, alat musik Sasando dan topi Ti’ilangga (khas NTT) dan beberapa fungsi lainnya.

Dulu, rumah di NTT seluruhnya berasal dari pohon lontar sehingga kerap dinamakan rumah daun. Kini banyak rumah di sana yang sudah berdinding bata tetapi sebagian masih beratap daun pohon lontar sebelum diganti dengan seng.

Bu Kanjeng pun semakin penasaran dengan manfaat pohon lontar. Ternyata tandan buah atau mayang lontar yang masih muda bisa dimakan dan rasanya seperti kelapa muda tetapi airnya lebih sedikit. Sedangkan tandan buah pohon lontar yang sudah cukup tua, disadap dan menghasilkan air buah lontar (air nira) yang rasanya manis. Setiap mayang dapat menghasilkan buah sebanyak 20-24 butir dengan ukuran buah antara 15-20 cm. Setiap buah berisi tiga buah biji yang tidak terlalu besar dan pipih.
Nah buah itu lah yang dinikmati Bu Kanjeng sambil memandang laut lepas di tepi pantai Lasiana.

Bu Kanjeng pun berdiskusi lagi dengan Pak Kanjeng tentang pohon lontar. Ya di pulau Jawa, air nira ini disebut legen yang banyak ditemukan di pesisir utara Jawa seperti Pati, Tuban serta Gresik. Di beberapa daerah seperti Aceh dan Yogyakarta, masyarakat mengolah air nira lontar menjadi gula aren.
Bu Kanjeng sekeluarga penikmat gula aren.

Sayangnya saat di Kupang Bu Kanjeng tak terpikir untuk membawa oleh-oleh berupa gula aren karena di pesawat tanpa bagasi. Gula aren yang berasal dari mayang lontar  itu bisa dimanfaatkan menjadi gula air, gula semut (gula merah butiran), dan gula lempeng (gula merah padat) atau difermentasi menjadi tuak, sopi juga sebagai bahan pembuatan kecap.

Ingin rasanya ia datang lagi ke Kupang untuk menikmati yang ada disana dan berbagi ilmu. Undangan Road show pun selalu didamba.

 Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Langkah Baru

  Langkah Baru Harapan Baru Karya. Asnati Setelah sunyi langkah terhenti  Terkurung dalam diam sepi  Kini ku melangkah, hati berseri  Kembal...